Koperasi Merah Putih : Momentum Kebangkitan atau Sekadar Euforia Sesaat?


Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 hadir dengan ambisi besar yakni mempercepat pembentukan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di seluruh penjuru Indonesia. Diterbitkan di tengah harapan akan kemandirian ekonomi akar rumput dan penguatan desa sebagai fondasi negara, Inpres ini menjanjikan gelombang baru gerakan koperasi yang lebih terstruktur dan terintegrasi. Namun, di balik optimisme yang digaungkan, tersembunyi sejumlah pertanyaan krusial dan tantangan implementasi yang perlu diurai secara kritis dan progresif.

Narasi ini akan menyelami lebih dalam substansi Inpres No. 9/2025, menelisik potensi yang terkandung di dalamnya, serta mengidentifikasi berbagai rintangan yang mungkin menghadang realisasinya. Lebih dari sekadar mengulang poin-poin instruksi, kita akan melakukan analisis kritis terhadap kerangka kerja yang ditawarkan, menyoroti aspek-aspek yang patut diapresiasi, serta menggaris bawahi area-area yang memerlukan perhatian dan strategi yang lebih matang.

Optimisme terhadap Inpres ini tentu beralasan. Target kuantitatif yang jelas memberikan arah dan fokus bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Konsep Koperasi Merah Putih dengan layanan yang beragam, mulai dari kantor administrasi hingga fasilitas cold storage dan layanan kesehatan, menjanjikan solusi holistik bagi kebutuhan masyarakat desa.

Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah kuantitas akan berbanding lurus dengan kualitas? Pembentukan 80.000 koperasi dalam waktu yang relatif singkat memerlukan persiapan yang matang, tidak hanya dari segi administratif, tetapi juga dari pemahaman dan partisipasi aktif masyarakat desa. Tantangan klasik gerakan koperasi di Indonesia, seperti kurangnya pemahaman anggota, manajemen yang belum profesional, dan keterbatasan modal, berpotensi menjadi batu sandungan yang signifikan.

Kajian terhadap kebijakan turunannya perlu menyentuh aspek inklusivitas dan keberlanjutan. Apakah model bisnis Koperasi Merah Putih ini akan sesuai dengan kondisi sosial setiap desa atau kelurahan untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat desa, termasuk kelompok marginal dan rentan? Bagaimana mekanisme pengelolaan yang berkelanjutan akan dijamin, sehingga koperasi tidak hanya berdiri sesaat lalu layu? Bagaimana sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan pemerintah desa akan terjalin? Apakah alokasi anggaran yang dijanjikan akan benar-benar sampai dan dimanfaatkan secara efektif? Potensi tumpang tindih program dengan inisiatif-inisiatif pemberdayaan masyarakat desa lainnya juga perlu diantisipasi.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 bukan hanya sebagai sebuah kebijakan, melainkan sebagai sebuah peluang dan tantangan kolektif dan berpotensi menjadi tonggak sejarah kebangkitan ekonomi kerakyatan di Indonesia.